APA YANG SEHARUSNYA DI CINTAI MANUSIA ?


Persoalan manusia adalah persoalan paling purba dimuka bumi. Masalahnya tetap sama dari dulu sampai detik ini, kini dan disini, Semua persoalan manusia dari dulu sampai sekarang bisa diwakili oleh tiga peradaban besar yaitu  Mesir Kuno, India abad pertengahan dan China abad 20 yaitu : Kelaparan, wabah, perang dan bencana alam.  Dari keempat hal ini, manusia, dengan segala kemajuannya, dengan dengan kecanggihan teknologi saat ini, dengan segala kemajuan sosial modern yang dialaminya, tetap tidak bisa mencegah kematian manusia dari keempat hal diatas. Manusia semakin maju, namun manusia mati karena kelaparan, wabah, perang dan bencana alam tetap terjadi. 

 

Dalam beberapa ajaran luhur manusia, manusia menderita bukan karena keadaan, tetapi karena tidak menerima keadaan. Dua hal ini paling sering dialami manusia, bahkan sampai kapanpun manusia akan hidup, sekalipun nanti berdasarkan prediksi Yuval Noah Harari bahwa manusia akan “immortal”, manusia tetap akan mengalami dua hal ini, akan menderita jika tidak  bisa dan tidak mau menerima keadaan atau kenyataan. 

 

Frasa “menerima keadaan” ini, tentu sangat berbeda antara manusia yang mengenal Tuhan dengan manusia yang tidak mengenal Tuhan. Ketika manusia mengenal Tuhan dan tahu Tuhan dengan sebenar-benarnya maka “menerima keadaan” ini bukanlah sebuah keputus atasaan, tetapi sebuah kepasrahan dan kepasrahan disini adalah sebuah cintanya kepada TuhanNya karena dia tahu dengan sebenar-benarnya bahwa Tuhan adalah Sutradara, Tuhan adalah dalang dari semua peran yang sedang dia jalankan. Karena, bagaimanapun, tidak ada manusia yang tidak berusaha, semua manusia pasti berusaha, cuma kadar dan kemampuan berusahanya tentu berbeda-beda. 


Source : Google 


Dalam keadaan tertentu manusia bisa berusaha dengan otot, otak dan ruhani (spiritual), ketika semua sudah dilakukan manusia, maka dia serahkan semuanya kepada TuhanNya, terserah bagaimana TuhanNya akan memperlakukan segala usahanya tersebut, karena Tuhan itu tidak mungkin bisa diatur-atur sekalipun dengan usaha spiritual, semua terserah kepada Tuhan, karena Tuhan pasti sangat tahu apa yang paling dibutuhkan manusia, bukan apa yang paling baik bagi manusia, baik bagi manusia, belum tentu baik bagi Tuhan, tetapi sebaliknya, apapun dari Tuhan, itu adalah yang terbaik bagi manusia, karena menerima apapun dari Tuhan adalah sebuah pengabdian yang paling abadi bagi manusia. Tentu semua ini ada dalam relasi saling mengenal dengan sebenarnya, relasi kasih sayang, juga dalam jalan relasi kuasa antara manusia dengan Tuhan yang dikenalnya, bahwa Tuhan berkuasa apapun atas manusia dan manusia hanya objek dari sebuah kekuasaan Tuhan. 

 

Sedangkan “menerima keadaan” bagi manusia yang tidak mengenal Tuhannya dengan sebenar-benarnya  adalah sebuah keputus asaan, sebuah sikap fatalis, sebuah kamuflase, sebuah absurditas, sebuah keadaan yang tidak real, karena ketika Tuhan tidak dikenal, maka sandarannya, objek sandaran harapan-harapannya semuanya absurd, mengawang-awang, ibarat manusia yang terlunta-lunta, tidak tahu mau kemana, tidak ada wilayah dan daerah yang dia kenal, ibarat berada dalam sebuah ruang hampa, tanpa objek apapun, sehingga apapun yang disampaikannya tidak ada yang mendengar dan tidak ada yang tahu. Di kondisi seperti inilah, yang membedakan mana manusia yang tercerahkan dan manusia manusia yang belum tercerahkan. 

 

Menerima dengan ikhlas keadaan yang dialaminya dalam kondisi manusia kenal dengan Tuhannya, maka manusia akan mendapatkan pencerahan dari sisi Tuhan, dia tetap akan mendapatkan segala ketenangan, kedamaian, dan kejernihan, atas segala keadaan yang dialaminya dalam sebuah kepastian. Ketika manusia menerima segala keadaan yang dialaminya dan mengakui segala kesalahan, kekeliruan dan kebodohan hidupnya sehingga berada dalam posisi yang sulit, makan manusia tersebut telah membunuh ke Aku an nya yang sangat besar, sehingga hidupnya akan bisa dipanu Tuhan, karena tidak ada penghalang  lagi, kemanusiaannya telah dibunuh, lalu dia membiarkan Tuhan bekerja merubah hidupanya, dan mengikuti dengan pasti semua jalan dan scenario Tuahnnya. Ketia manusia melakukan ini, maka akan ada satu titik perubahan yang akan dialaminya, karena ketika dia menerima, maka dia akan sinkron dengan algoritma alam, maka dia telah harmonis dengan alam, sejalan dengan alam, sehingga akan ada perubahan revolusioner, perubahan mengejutkan yang akan dialami manusia. 

 

Bagi manusia yang juga menerima keadaan yang dialaminya, tetapi dia tidak mengenal Tuhannya, maka tidak ada pencerahan yang didapat manusia, tidak ada ketenangan, kedamaian, dan kejernihan yang akan didapat, karena tidak ada ketenangan, kedamaian dan kejernihan selain dari Tuhan. Di tahap ini, tidak ada kejelasan dan kepastian nasibnya dari, karena tentu dia tidak kenal, Tuhan akan sendiri, dan manusia tersebut juga akan sendiri dengan segala kegelisahan, was was dan ketidak tenangannya. Manusia ini akan merasa saja bahwa apa yang dialaminya itu skenario dari Tuhan, padahal semuanya sendiri-sendiri, Tuhan sendiri, manusia itu sendiri. 

 

Tuhan adalah sebaik – baik Sutradara

 

 Dalam sebuah karya pemikiran manusia,  dihasilkan sebuah konstruksi keimanan bahwa        “jika manusia berada dalam sebuah keterancaman, manusia berada dalam sebuah posisi dimana maut bisa merenggutnya, berada dalam posisi yang pasti akan mati, namun manusia itu tetap hidup, maka apapun yang bisa membuatnya mati tersebut, akan membuatnya semakin kuat dan semakin bertahan untuk hidup” dengan bahasa lain, “ jika maut tidak bisa membuat manusia mati,  maka itu akan membuat manusia terus hidup dan terus kuat”. Dalam konteks ini, ditengah segala ketidak adilan dunia, ditengah segala ketidak adilan distribusi kemakmuran untuk manusia, ada banyak sekali manusia yang terus dapat hidup sampai saat ini. Ada sebuah idiom yang mengatakan “ Jika manusia tidak bisa kaya diumur 40-50 tahun, maka itu adalah sebuah kesia-siaan”, idiom ini akan segra dibalas oleh manusia yang masih tetap hidup dari segala kesulitan dengan kalimat Tidak gila saja di usia 40-50 tahun adalah sebuah mukjizat  yang sangat berharga dalam hidup “. 

 

Ada banyak kerisauan yang dialami manusia, namun ada banyak juga manusia yang tidak risau sama sekali atas segala kehidupannya. Manusia bermain – main dalam kepastian dan ketidak pastian, namun sekali lagi, kepastian dan segala ketidak pastian yang akan dan bisa dialami manusia, tentu berbeda antara manusia yang kenal dan tidak kenal dengan Tuhan. Sebab, bagi manusia yang kenal Tuhannya, segala ketidak pastian yang dialaminya, adalah sebuah kepastian yang pasti dari Tuhan, bukan dari yang lain.  Sedangkan yang tidak kenal Tuhan, maka semua ketidak pastian yang dialaminya, adalah ketidak pastian yang pasti tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tuhan, tidak tahu itu dari mana, pasti segala yang berasal tidak dari Tuhan. 

 

Bagi manusia yang kenal Tuhan, maka tidaka akan pernah risau pada dunia dan kehidupannya, karena dunia ini milik Tuhan. Tidak  pernah risau pada rezeki, karena rezeki Tuhan yang beri. Tidak pernah risau pada hari esok, karena hari esok itu Tuhan yang tentukan. Tidak pernah risau pada masa depan, karena masa lalu, kini dan masa depan, dalam genggaman Tuhan. Tetapi manusia akan  risau pada ridha Tuhan, karena ridha Tuhan adalah kunci kehidupan. Apakah manusia sudah mendapatkan ridha Tuhan ?. Apakah manusia menjalani hidup yang sudah diridhai Tuhan ?. Ini yang paling penting bagi manusia.

 

Jika Tuhan sudah ridha, maka semuanya dicukupkan Tuhan, ketika Tuhan sudah ridha, maka manusia ada dalam skenario Tuhan, ketika Tuhan sudah ridha, maka Tuhan yang bekerja, manusia ikut - ikut saja, Ketika Tuhan sudah ridha, maka Tuhan yang jaga, ketika Tuhan sudah ridha, maka kecil maupun besar yang didapat, semuanya berkah. Apapun yang didapat manusia, apapun yang dijalani manusia adalah surga karena selalu disertai dengan cahaya Tuhan dan Tuhan berkenan.

 

Jika manusia hidup, tetapi tidak mendapat Ridha Tuhan, maka tidak ada keberkahan dalam hidupnya, tidak ada guna segala amal saleh, segala kebaikan, segala ketaatan, karena itu semua adalah unsur manusia sendiri, yang tidak ada sama sekali hubungannya dengan Tuhan, karena tidak ada acc dari Tuhan, tidak ada berkenan Tuhan disitu. Jika tanpa ridha Tuhan, maka itu adalah neraka bagi manusia. Maka itu adalah kegelapan bagi manusia, karena tidak disinari oleh cahaya Tuhan, karena Tuhan tidak berkenan.

Lalu bagaimana manusia tahu, bahwa hidupnya di ridhai atau tidak oleh Tuhan jika manusia tidak berjumpa Tuhan ?.Karena berjumpa saja belum tentu diridhai, apalagi tidak berjumpa. 

 

Lalu bagaimana caranya ?, Caranya, carilah Kekasih-Nya, jumpai kekasih-Nya yang tahu dimana Tuhan, karena apapun kata kekasih-Nya, maka Tuhan akan Acc, sehingga manusia tahu hidupnya di ridhai atau tidak oleh Tuhan. Tuhan adalah Sutradara, manusia adalah pemeran. Lalu bagaimana bisa diarahkan perannya oleh sutradara, jika tidak kenal dan tidak pernah berjumpa dengan Sutradara ?.Ketika sutradara memandu peran, maka cerita berjalan, kehidupan berjalan, musik mengiringi, harmoni terjadi. Tetapi jika sebaliknya, Sutradara sendiri, pemeran sendiri, Tuhan sendiri, manusia sendiri, cerita tidak terjadi, musik tidak mengiringi, tidak ada harmoni. 

 

Kehidupan manusia tanpa ridha Tuhan, manusia hanya merasa saja bahwa melalui amalnya, kesalehannya, kebaikannya, dia diridhai Tuhan, padahal manusia sendiri, Tuhanpun sendiri, manusia memainkan sendiri perannya, menggerakkan sendiri semua peran- perannya, lalu merasa Sang Sutradara memandu perannya, padahal Sutradara duduk sendiri, mengamati semua peran yang dimainkan sendiri oleh pemeran, karena sama sekali tidak kenal.

Ketika Tuhan ridha, ketika Tuhan berkenan, maka pemeran akan menuruti semua gerak dari Sutradara, manusia akan mengikuti semua gerak dari Tuhan, manusia hidup dan menjalani hidup dalam skenario Tuhan. Pemeran merelakan dirinya, pada apapun yang akan dilakukan Sutradara, pada apapun yang dipandu dan diarahkan oleh Sutradara, ketika pemeran menuruti, maka Film pun bisa diproduksi, tanpa kekacauan sama sekali.

 

Manusia Harus Mencintai Kebenaran Yang Sebenarnya

 

Tuhan adalah kebenaran dan DIA adalah kebenaran mutlak, kebenaran absolut, kebenaran sejati, karena yang absolut tidak mungkin menjadi nisbi dan relative, karena itu adalah Tuhan, tidak mungkin Tuhan nisbi dan relatif. Kebenaran sejati ini adalah kebenaran yang  lansung dari Tuhan, yang lansung dengan Tuhan, tanpa ada tafsiran dan juga pkiran-pikiran manusia. Tuhan sejati ini adalah Tuhan yang menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad, Tuhan yang memandu nabi Muhammad. Sedangkan Tuhan yang dipersepsikan, Tuhan yang sering dikhotbahkan oleh agamawan adalah Tuhan berdasarkan pikiran dan pemikiran agamawan tersebut. Setelah Rasulullah Muhammad tidak ada, maka risalah Tuhan yang murni, Risalah Tuhan yang sejati dan tidak pernah berubah ini ada dan diteruskan oleh para Ahli Silsilah dalam Tarekat Naqsyabandiyah Al Khalidiyah sebagai sebuah kebenaran yang memandu keselamatan manusia dunia dan akhirat.

 

Turut serta dan mengabdi dengan tulus pada kebenaran murni dan sejati ini adalah sebuah tanggung jawab sejarah dan sebuah tanggung jawab peradaban yang harus dipikul manusia. Ketika manusia bersedia memikul ini, maka manusia ini adalah tumpuan sejarah dan tumpuan peradaban untuk keselamatan manusia, jika sebaliknya maka akan menjadi beban sejarah dan beban peradaban. 

 

Ketika manusia berada dihadapan dua fakta yaitu kebenaran dan ketidak benaran. Kemudian manusia juga berada dihadapan dua realitas : realitas kemurnian, keaslian, ketetapan, tidak pernah merubah dan realitas kepalsuan, kepura-puraan, kamuflase, dan sesukanya merubah - rubah sebuah kemurnian dan keaslian...

Lalu, ketika manusia sudah tahu dengan jelas dan pasti berdasarkan data, fakta dan fenomena mana yang benar, mana yang asli, mana yang murni dan tidak pernah berubah, namun tetap juga memilih yang tidak benar, yang tidak murni, yang tidak asli dan yang sesukanya merubah - rubah, hanya karena mempertahankan ego untuk tampak sebagai yang paling benar, maka manusia ini telah menjadi beban sejarah, telah menjadi beban peradaban, telah menjadi penghalang bagi manusia lainnya untuk mendapatkan kebenaran sejati, telah menjadi penghalang bagi kemajuan manusia, karena tidak ada peraban yang bisa dibangun denganketidak benaran, kepalsuan dan kamuflase. Tidak ada peradaban yang kuat, kokoh, bertahan ratusan tahun dan menjadi kemaslahatan bagi manusia dengan ketidak benaran, kepalsuan dan kamuflase.

 

 

 

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :