UJUNG DARI MATERIAL ADALAH SPIRITUAL


Ujung adalah akhir dari sebuah perjalanan, akhir dari sebuah tujuan. Apa ujung dari perjalanan kehidupan manusia ?, ujung dari perjalanan kehidupan manusia adalah kematian.  Heidegger, seorang filosof eksistensialis fenomenal mendefiniskan manusia sebagai  “ada”     (eksistensi) yang menuju kematian. Artinya kematian itu adalah kepastian akhir. Apakah manusia itu bahagia, sengsara, kaya, miskin, terkenal, tidak terkenal, alim tidak alim, bangsawan atau orang biasa saja, semua pasti akan mati. Namun, setelah kematian didunia itu pasti, lalu bagaimana kepastian berikutnya setelah kematian manusia, kepastian diakhirat nanti, disinilah semua manusia kebingungan, terutama umat Islam, apakah akan selamat masuk surga atau neraka, tidak ada kepastian, padahal Islam sendiri adalah agama “keselamatan dan kesejahteraan”, apa mungkin sebagai sebuah agama yang besar, agama yang agung, umat Islam tidak bisa memastikan ketika berada didunia apakah diakhirat nanti akan masuk surga atau neraka ?. Siapa yang telah melemahkan Islam sedemikian rupa, sehingga berubah dari agama “keselamatan”, menjadi agama “tanpa kepastian”. 

 

Fenomena seperti ini real terjadi dalam masyarakat kita, simulasinya seperti ini : “ jika ada seseorang yang datang dan bertanya kepada seorang pemuka agama, lalu dia bertanya: “Saya selalu berbuat baik, selalu beramal saleh, selalu bersedekah, selalu hadir di majlis-majlis ilmu agama, selalu menolong anak yatim, fakir miskin, apakah saya akan masuk surga ?. Pemuka agama itu akan menjawab : “ Belum tentu, kewajiban kita memang harus selalu beramal saleh, soal masuk surga dan neraka itu belum tentu, itu kuasa Allah”.

Di lain kesempatan, datang orang lain lagi dan juga menayakan kepada pemuka agama tersebut : “ Saya telah berbuat dosa, hidup saya penuh dengan dosa, saya makan dan minum yang diharamkan, bagaimana nasib saya diakhirat nanti, jika saya tidak sempat bertaubat ?”. pemuka agama tersebut  akan menjawab : “kamu lansung dalam neraka jahanam”. 

Untuk ke surga, pemuka agama itu tidak berani menjawab pasti, tetapi ketika ke neraka, dengan mudahnya dia menjawab pasti masuk ke neraka. Kontras sekali bukan. Padahal surga dan neraka itu kekuasaan Allah. Lalu dimana logikanya, ke Surga belum pasti, tetapi ke Neraka penuh kepastian. 


Source : Google 

Sebelum manusia menemukan ujung daripada segala sesuatu, manusia pasti akan terus mencari dan mendapatkan apa yang tidak dipunyainya dan apa yang belum didapat kannya. Ketika manusia mendapatkan sesuatu, maka manusia tersebut tidak akan pernah puas, dan pasti ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Bagi manusia yang belum mendapatkan kekayaan, maka dia akan terus mencari kekayaan sebanyak – banyaknya. 

 

Baiklah, itu bagi manusia yang belum mendapatkannya. Lalu bagaimana dengan manusia yang sudah mendapatkan semuanya ?. uang sudah punya, tidak akan miskin lagi, ingin berkunjung kebelahan bumi mana saja gampang sekali, tidak ada halangan apapun, private jet tersedia, apapun yang diinginkan bisa didapatkannya dalam sekejap, semua bisa dibeli dan semuanya bisa dikendalikan apa yang diinginkannya lansung bisa terpenuhi, bahkan semuanya sudah ada bersamanya. Jika manusia sudah berada di level ini, apa yang akan dialaminya ?. Dalam banyak fakta, jika seorang anak manusia berada di level ini, disatu titik, dia pasti akan mengalami kejenuhan, kehampaan, kegersangan, keterasingan, bahwa apa yang telah didapatkannya tersebut bukanlah sebuah tujuan akhir dan bukan tujuan sebenarnya dan bukan tujuan dia sebagai manusia, dan untuk mengimbangi kondisi ini, dia pasti akan melakukan kebalikan dari segala kebiasaannya dengan pola hidup sangat kaya tersebut, kebanyakan dari orang – orang seperti ini akan menepi, menyendiri dari keramaian, kadang ingin hidup seperti orang biasa, ingin hidup sederhana saja, berbagi dengan banyak orang. Dengan segala kekayaan yang dipunyai manusia dilevel ini, apa lagi yang mau dilakukannya, kecuali berbagi dengan yang lain, kalau dia mau makan enak dan mahal, seberapalah besar perutnya, tidak mungkin dia makan kambing setiap hari, makan daging setiap hari,  umrah setiap bulan, haji setiap tahun, mau ganti mobil mewah juga tidak mungkin sebulan 1 mobil, akan sangat norak, juga tidak mungkin seminggu sekali keluar negeri, atau setiap bulan keliing dunia, semua pasti ada batasnya. 

 

Ujung akhirnya adalah manusia seperti ini akan mencari spiritual, karena ujung dari material adalah spiritual, karena spiritual adalah akhir  yang sebenarnya dari perjalanan manusia. spiritual inilah yang akan selalu abadi menemani manusia, bukan kekayaan yang tanpa batas.

 

Uang atau kekayaan tidak akan mengubah karakter seseorang, tetapi justru semakin memperkuat karakter seseorang. ketika seseorang karakternya kikir, maka ketika dia kaya akan semakin kikir,  ketika seseorang karakternya sombong maka ketika kaya, dia akan semakin sombong, demikian juga seorang yang penakut, ketika kaya dia akan semakin jadi penakut, dia akan menyewa banyak sekali bodyguard, rumahnya dipenuhi CCTVhidupnya selalu dihantui kecemasan, menghabiskan uang milyaran uang untuk menyewa paranormal, dukun, memakai jimat- jimat. Hidupnya nampak Bahagia, karena punya segalanya, padahal sejatinya, kesehariannya selalu dihinggapi kecemasan, kerisauan, ketidak tenangan. Dia khawatir bagaimana jika kekayaan ini berkurang ataupun hilang, karena dia merasa bahwa ini adalah miliknya, dan semua melekat padanya, sehingga dia akan melakukan apapun untuk mendapatkan kekayaan, sekalipun dengan cara-cara yang tidak baik dan akan mempertahankan mati-matian agar kekayaan itu hanya digunakan untuk kepentingan pribadinya sendiri tanpa mau berbagi dengan yang sangat membutuhkan. 

 

Jika ujung-ujungnya dari material adalah spiritual, lalu mengapa itu selalu berada diakhir perjalanan manusia, mengapa manusia tidak merubahnya menjadi tujuan awal dari semua perjalanan manusia. Jika manusia menginginkan sebuah perubahan revolusioner dalam hidupnya, maka manusia harus menjadikan spiritual sebagai tujuan awal dari semua perjalanan hidupnya. Sehingga jika manusia menjadikan spiritual sebagai tujuan awal dan akhir hidupnya, maka dia tidak akan tunduk kepada kekayaan itu, namun kekayaanlah yang akan tunduk kepadanya, dia tidak akan dikendalikan oleh kekayaan tersebut, tetapi dialah yang mengendalikan kekayaan itu. Ketika energinya adalah spiritual, maka segala peruntukan kekayaannya tersebut pasti berada dijalan kebaikan, keberkahan dan tanpa kesia-siaan. Tentu demikian sebaliknya, jika tanpa spiritual, maka peruntukan kekayaannya tersebut tentu tidak akan berhubungan sama sekali dengan jalan kebaikan, keberkahan, semuanya pasti penuh dengan kesia-siaan. Namun, spiritual itu tidak akan pernah bisa dibeli dengan uang, jadi jangan coba-coba membeli spiritual dengan uang, semuanya akan tertolak, tidak akan ada yang bisa didapat, kecuali segala kesulitan dan kesukaran dalam hidup, karena uang itu dimensinya rendah dan spiritual dimensinya sangat tinggi sekali. 

 

Islam, Kekayaan dan Kemakmuran

 

Islam tidak pernah melarang umatnya untuk kaya dan makmur, bahkan sangat menganjurkan umatnya untuk kaya. Karena jika umat Islam kaya, untuk membangun masjid, tempat ibadah, pesantren dan lembaga – lembaga keagamaan lainnya, mensejahterakan orang miskin, orang-orang  terlantar dan anak yatim tidak perlu dengan meminta-minta dijalan, tidak perlu dengan berkeliling kampung, berkeliling kabupaten kota atau provinsi untuk meminta sumbangan, meminta sedekah untuk pembangunan tempat ibadah dan lembaga pendidikan, tidak perlu dengan membuat proposal, tidak perlu dengan menunggu dana hibah, tidak perlu menunggu pokir, tidak perlu menunggu APBN atau APBD

 

Ketika kita mellihat masih banyak saudara-saudara kita, anak – anak kita yang masih berdiri dipinggir jalan, berdiri ditengah jalan yang sangat berbahaya bagi mereka sendiri dan juga berbahaya bagi pengguna jalan, ketika kita masih menemukan banyak anak-anak yang berkeliling kampung, mengetuk pintu dari rumah kerumah, meminta bantuan seikhlasnya untuk tempat-tempat agama,  menandakan bahwa ditempat kita memang belum ada orang kaya. Jika memang ada orang – orang kaya yang sanggup membantu pembangunan masjid, lembaga pendidika keagamaan, namun masih tetap ada juga yang meminta- minta berarti itu persoalan mental yang harus disembuhkan, harus segera dibenahi, harus dirubah mentalnya dari mental meminta kepada mental berdaya (empowering). Jika kita terus menjadikan anak-anak kita sebagai bagian dari aktfititas meminta-minta ini, kita telah mengajarkan, menamkan mental tidak berdaya dialam bawah sadarnya, sehingga mental ini nantinya akan mempengaruhi perkembangan mentalnya kedepan dan itu secara psikologis akan berbahaya karena akan menjadi luka batin yang sulit untuk sembuh. 

 

Islam mengajarkan, jika belum kaya, punyalah mental kaya, contoh mental kaya ini ada banyak sekali, diantaranya  adalah Abu Bakar Shiddiq, yang menyerahkan seluruh hartanya untuk jalan dakwah, berinfak dan bersedekah tanpa pernah takut miskin, tanpa ada hitungan-hitungan persen. Demikian juga Umar bin Khattab yang menyerahkan hartanya untuk jalan dakwah bersama Rasulullah.  Utsman bin Affan pernah membeli sebuah sumur dari orang Yahudi dengan harga tiga kali lipat lebih tinggi, sumur itu tidak mau dijual oleh orang Yahudi tersebut, tetapi karena sumur ini sangat diperlukan oleh Umat Islam maka Usman menawar dengan harga berkali lipat, sehingga sumur itu bisa dibeli, ini yang disebut mental kaya. Ketika ditanya oleh Rasulullah : “ Ya Abu Bakar, semua hartamu sudah engkau serahkan di jalan Allah, apa yang tersiksa untukmu ?, “Bagiku, cukup Allah dan Rasul”, jawab Abu Bakar. Ahli Silsilah ini tahu bahwa yang paling berharga dan tidak tergantikan adalah “Allah dan Rasul” itulah yang paling berharga dalam hidup manusia. Abu Bakar adalah sosok yang selalu ingin dengan hartanya, beliau senantiasa selalu beserta Allah dan selalu berada disisi Rasulullah. Karena tidak ada gunanya, jika harta yang dipunyai manusia, justru menjauhkannya dari Allah dan Rasul. 

 

Sufi adalah Mental Kaya Sejati

 

Melalui pengajaran seorang Mursyid yang paripurna dan telah selesai semua persoalan dunia dan akhirat,  melalui praktek spiritual, praktek tasawuf, mujahadah, mental-mental kaya ini dipunyai oleh para Sufi. Mereka adalah sosok yang sudah terlepas dari segala kemelekatan dengan dunia, karena mereka, dengan semua kekayaan yang dipunyainya senantiasa beserta Allah, tidak pernah terpisah, harta yang ada padanya bukanlah miliknya, tetapi milik Allah yang dititipkan kepadanya, sehingga hartanya senantiasa digunakan di jalan Allah.  Para Sufi ini adalah sosok yang telah mempraktekkan hidup zuhud yaitu hidup yang bukan tidak lagi mencari dunia, tetapi tidak tergantung lagi kepada dunia, dunia dan segala isinya tidak terbawa dan masuk kedalam hatinya sehingga mempengaruhinya. Ketidak melekatan dengan dunia ini, menjadikan para Sufi itu sebagai sosok yang sangat santai, tenang dan damai, sehingga ketika ada harta dan kekayaan yang terenggut atau hilang darinya, itu tidak akan berpengaruh apapun kepadanya, karena itu bukanlah miliknya, tetapi hanya titipan. Tipikal dan mental seperti ini ada pada kisah Nabi Aiyub AS, yang tidak pernah merubah cinta dan jalannya kepada Allah, sekalipun semua terenggut darinya. Diantara praktek spiritual para Sufi yang menghindari dirinya dari kemelekatan dengan dunia adalah mengikuti suluk, yang dalam pelaksanaanya benar – benar meninggalkan segala kepentingan duniawi. 

 

Zuhud itu bukanlah hidup miskin, hidup menjauhkan diri dari dunia atau tidak lagi mengejar dunia, zuhud itu adalah tidak lagi tergantung kepada dunia, tidak lagi terpengaruh oleh dunia. Jadi miskin itu bukan zuhud, miskin itu berarti manusia berapa pada posisi yang belum sejahtera dan itu bukan zuhud. Para Sufi adalah sosok yang menyongsong dunia, menetralkan dunia dengan energi ke Tuhan nan dan menyelesaikan segala problem dunia, baik fisik maupun mental, fisika maupun metafisika. Zuhud itu adalah seseorang yang punya banyak harta, dia tidak perlu bekerja lagi, namun hidupanya, jalan hidupnya sepenuhnya diabadikan dijalan Allah, banyak para Mursyid, para Guru Sufi yang kaya raya, dan mereka ini adalah zuhud yang sebenarnya, hidupnya dibadikan pada jalan Allah, hidupnya adalah dakwah dijalan Allah dan semua harta kekayaannya adalah untuk dakwah dijalan Allah, tidak pernah untuk dirinya sendiri. Inilah zuhud yang sebenar-benarnya. 

 

Jika manusia ingin hidup berkah dan selamat dunia akhirat dengan segala kekayaannya, jika manusia bisa tetap rendah hati, tidak angkuh dan sombong dengan segala kuasa dan kekuasaan yang dimilkinya, maka jalan itu tidak lain adalah menempuh jalan tarekat, jalan para sufi, karena disini paling lengkap kurikulum dan pengajaranya bagi semua sendi kehidupan manusia, dunia dan akhirat, mental dan spiritual, dengan cara belajar tarekat, belajar mendekatkan diri kepada Allah, bertawajuh, bersuluk, bersedekah, berziarah, berubudiyah yaitu menghambakan diri secara fisik dengan bimbingan seorang Guru Mursyid, tempat dia menundukkan hati, pikiran dan jiwanya untuk dibimbing, dituntun untuk selalu berada dijalan Allah, jalan kebaikan dan jalan keselamatan.  Ego manusia itu besar sekali, dan susah sekali untuk tunduk, dan satu-satunya jalan diantara banyak jalan yang selama ini ditempuh manusia adalah jalan Tarekatullah, yang sudah terkonfrimasi dengan segala buktinya, karena agama itu adalah pembuktian, bukan doktrin dan dijalan Tarekat inilah segala pembuktian tersebut. 

 

Kekotoran hati manusia adalah penyebab utama besarnya ego manusia dan manusia tidak mungkin mampu menghilangkannya sendiri, perlu kekuatan lain untuk menhilangkannya dan manusia tidak pernah bisa tahu seberapa besar kekotoran hatinya, hanya cahaya Allah melalui seorang Guru Mursyid yang dapat mengetahui kekotoran hati seorang manusia dan menghilangkannya. Kekotoran hati manusia itulah yang menutupi masuknya cahaya Allah kedalam qalbunya. saking beratnya perkara kekotoran hati manusia ini, Imam Al Ghazali berkata : “Sekalipun dia seorang mujtahid, seorang ahli fikih yang tidak ada bandingannya,  maka dia butuh seorang Guru Mursyid, karena dia tidak mampu melihat kekotoran hatinya, hanya seorang Mursyid yang mampu melihat dan menghilangkan segala kekotoran hatinya”. Ini tentu juga berlaku bagi orang – orang kaya, sekalipun dia orang paling kaya didunia, maka dia tetap butuh seorang Guru Mursyid untuk membimbingnya. 

 

Manusia, seberapapun kaya, apapun pangkat, jabatan dan kekuasaan yang dipunyainya, dia mesti punya tempat untuk menundukkan dirinya. Karena jika tidak dia akan sangat sombong dan merusak dengan segala kekayaannya, dan akan sangat zalim, menindas dengan kekuasaannya, manusia ini bisa menjadi Tuhan bagi manusia yang lainnya, namun ketika dia telah menundukkan dirinya kepada Tuhan yang sebenarnya, maka dia hanya akan menjadi seorang hamba Allah yang tidak ada apa-apanya. Ketika ujung dari material adalah spiritual, maka rubahlah itu menjadi “manusia adalah makhluk spiritual dan spiritual adalah awal dan akhir dari segala perjalanan manusia. 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :