PEMIMPIN ZALIM ADALAH PEMIMPIN YANG SELALU MENYUGUHKAN AGAMA KEPADA RAKYATNYA YANG MENDERITA
Hari – hari ini, manusia disibukkan dengan suguhan pertengkaran elit yang konon katanyanya demi menegakkan peraturan dan demi menegakkan kebenaran, mereka bersuara begitu lantang dan emosional, padahal aturan yang ditegakkan atas nama membela kebenaran itu adalah aturan untuk memberikan keuntungan semakin besar kepada mereka dan kebenaran yang ditegakkan atas nama membela kebenaran itu adalah pembenaran agar mereka terus bisa menambah segala kekayaan dari kerja – kerja politik mereka.
Manusia juga disibukkan dengan sajian pertunjukan yang menampilkan dengan jelas dan terbuka kepada publik bagaimana para elit bersuara lantang atas nama menegakkan kebenaran sehingga publik pun menangkap bahwa mereka dengan sungguh – sungguh menjalankan amanah yang dititipkan rakyat kepada mereka untuk melakukan pengawasan, mengontrol kekuasaan agar tidak semena-mena, padahal kejadian yang sebenarnya adalah mereka bersuaran lantang hanya karena ada kekayaan yang seharusnya mereka dapatkan tetapi di telikung oleh kelompok lainnya sehingga mereka tidak mendapatkannya dan juga karena ada pembagian kekayaan yang tidak cocok antara sesama mereka atau bisa jadi karena mereka telah menarik uang yang sudah banyak sekali dari orang – orang tertentu yang mereka janjikan untuk mendapatkan jabatan dan posisi tertentu, namun mendapat tentangan dari kelompok lainnya yang juga melakukan hal yang sama sehingga keributan itu mereka munculkan kepublik dengan mengatasnamakan menegakkan peraturan, lalu mereka saling bersuaran lantang, saling beradu argumen yang dipertontonkan kepada publik, lalu publik pun terkecoh dan merespon sehingga elit ini semakin diuntungkan, siapa yang mendapatkan dukungan publik yang paling besar akan menjadi pemenang, sehingga mereka mendapatkan keuntungan dan publikpun mendapatkan kebuntungan.
Problem yang dialami elit ini adalah problem personal diantara sesama mereka dan problem sesama kelompok mereka sendiri, bukan problem dan persoalan publik, namun dengan kerja politik culasnya mereka merubah problem personal itu menjadi probem struktural, bahwa persoalan tersebut adalah persoalan publik, padahal itu semua adalah persoalan mereka sendiri yang kemudian dibalut oleh mereka atas nama melakukan pengawasan, atas nama melakukan kontrol sebagai bentuk pertanggung jawaban publik. Dan kita berharap agar publik segera sadar dan tidak lagi terkecoh dengan pola “Goebbel” seperti ini.
Pertengakaran elit diatas, sama sekali tidak ada kaitannya, tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat dan tidak ada relasi dan relevasinya dengan peningkatan pendapatan, pendapatan ekonomi dan peningkatan akses mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang mudah dan layak bagi rakyat. Karena itu semestinya dan sudah sewajarnya rakyat banyak menarik diri dan sama sekali tidak perlu terlibat dalam pertengkaran mereka, segeralah dan bergegaslah turun kesawah, berkebun menanam cabai, tomat, kacang, segera masuk ke hutan, segera kelaut, segera berjualan, segera minum kopi dan selesaikanlah urusan sendiri, segeralah bekerja kembali untuk menghidupi anak dan istri dan sama sekali tidak perlu merespon petengkaran tersebut, biarkan gajah berkelahi dengan gajah sampai mati namun semut dan lebah teruslah bekerja untuk menghidupi keluarga, untuk membangun rumah, untuk mengumpulkan makanan dan untuk memastikan bahwa hari ini, besok, bulan depan dan tahun depan masih tetap bisa hidup, masih tetap bisa makan ditengah segala kondisi yang serba tidak pasti ini, ditengah keadaan yang serba tidak menentu.
Pada akhirnya, ketika elite yang bertengkar tadi pun berdamai, lalu mereka mengatakan bahwa ini semua demi kebaikan bersama, demi kemajuan rakyat, demi kepentingan rakyat, maka itu bukanlah kenyataan yang sebenarnya. Dalam Filsafat selalu disebutkan berulang – ulang bahwa hakikat segala sesuatu bukanlah pada apa yang tampak, apa yang terlihat apa yang disaksikan, tetapi apa disebalik semua itu. Apa yang nampak dari berdamai itu, bukanlah hakikat sebenarnya, yang tidak terlihat dari terjadinya sebuah perdamaian itulah hakikat sebenarnya yang tidak akan pernah diketahui oleh orang banyak, oleh rakyat banyak, kecuali oleh sesama mereka sendiri. Yang diketahui oleh sesama mereka ini pasti akan selalu ditutupi, dan yang dinampakkan adalah apa yang bisa membuat semua orang terkecoh.
Pemimpin Zalim
Dalam Fragmen lain, dengan berbagai persoalan dan tantangan hidup yang semakin berat yang dialami oleh anak – anak manusia mulai dari Aceh sampai Papua, yang berjuang mati – matian untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari yang paling dasar untuk keluarganya, yang berusaha dengan susah payah untuk tetap bisa menyekolahkan anak – anak nya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, dalam kondisi seperti ini ketika ditanya manakah pemimpin yang baik dan manakah pemimpin yang zalim ?. maka semua akan menjawab bahwa pemimpin yang zalim adalah pemimpin yang sering bicara agama kepada rakyatnya, tanpa ada bukti kongkrit meningkatkan kesejahteraan kepada rakyatnya dan pemimpin yang paling zalim adalah pemimpin yang sering menyuguhkan agama kepada rakyatnya, tanpa pernah bisa menyuguhkan kesejahteraa yang dirasakan lansung dan cepat oleh rakyatnya dan semua juga akan menjawab bahwa pemimpin yang paling baik adalah pemimpin yang memberikan solusi kongkrit untuk kesejahteraan dan peningkatan ekonomi rakyatnya tanpa harus menyuguhkan agama.
![]() |
Source : Google |
Pemimpin yang selalu menyuguhkan agama kepada rakyatnya adalah pemimpin yang kurang akal, pemimpin yang tidak bertanggung jawab atas kewajiban yang wajib dipenuhinya sebagai pemimpin dan merupakan pemimpin yang menutupi ketidak mampuan dan menutupi segala tindak kejahatan, menutupi penyalah gunaan wewenang yang digunakannya untuk memperkaya diri, memperkaya keluarga dan memperkaya kelompok – kelompoknya sendiri.
Pemimpin yang selalu memberikan himbauan – himbauan agama, seperti wajib shalat berjamaah, membuat regulasi dan aturan memaksa orang untuk shalat, menghimbau agar pedagang dan pengusaha menutup usahanya ketika suara azan dan lain sebagainya adalah pemimpin yang tidak punya visi kesejahteraan, pemimpin yang tidak rasional, pemimpin yang reaksioner dan pemimpin yang sama sekali tidak mampu mengabtraksikan sebuah visi kesejahteraan yang jauh dan kongkrit, tidak mampu memvisualisasikan kesejahteraan yang kongrit yang bisa diwujudkan secara cepat, bertahap dan berkala, akal dan otak nya tidak sanggup membaca data, merespon data dan menganalisa data serta memberikan solusi kongkrit untuk kesejahteraan, dia hanya punya kemampuan melihat apa yang ada hadapan matanya, misal, ketika ada pedagang yang mengeluh bahwa pendapatan mereka terus menurun karena daya beli masyarakat kurang, , maka pemimpin tersebut akan merespon dengan “ kita himbau semua tempat usaha untuk menutup usahanya ketika azan”, “ kita akan buat regulasi yang memaksa semua orang untuk shalat” dan berbagai suguhan agama lainnya yang diberikan ditengah rakyat yang hidupnya semakin hari semakin menderita, sementara dia, keluarga dan kelompoknya terus kaya raya.
Pemimpin yang sering menyuguhkan agama kepada rakyatnya yang sedang menderita adalah pemimpin yang tidak sopan, pemimpin yang tidak pantas, pemimpin yang tidak bisa menjaga hati rakyatnya, karena selalu melukai hati rakyatnya yang sedang dalam kesusahan. Seharusnya ketika dia berbicara, mengeluarkan sebuah pernyataan, dia memberikan pernyataan yang memberikan harapan dan solusi yang jelas terhadap kesusahan yang dialami rakyatnya, bukan semakin menambah penderitaan rakyatnya dengan suguhan – suguhan agama dan bahasa-bahasa agama yang justru semakin menambah – nambah kesusahan rakyatnya. Pemimpin itu punya etika di ruang publik untuk tidak berbicara seenaknya saja karena dia adalah patron ethic, patron kesopan santunan, patron kebaikan hati dan patron kedalaman perasaan untuk memahami segala kondisi yang sedang dialami rakyatnya.
Rakyat tidak perlu lagi dihimbau untuk beribadah, untuk shalat karena itu memang sudah turun temurun dilakukan dan warisan turun temurun dari nenek moyang dan orang – orang terdahulu yang sangat religius, sebuah warisan yang tetap akan ada sampai kapanpun, tidak akan hilang dan akan terus dilakukan sampai kapanpun, jadi penguasa tidak perlu sok dan merasa menjadi pahlawan dengan selalu menyuguhkan persoalan agama kepada rakyatnya. Ketika tiba waktu shalat, ketika azan berkumandang, ramai para pedagang yang meletakkan dua buah kursi, lalu merintanginya pintu ruko atau kedainya dengan sapu tanpa harus menutup tokonya, ini memang sudah saban hari dilakukan, jadi tidak perlu lagi mengelaurkan himbauan segala macam, maunya para pemimpin itu bisa menaikkan level kepemimpinannya dari model kepemimpinan purba, bicara seenaknya saja menjadi model kepemimpinan dengan narasi dan kapasitas pengetahuan yang tinggi.
Pemimpin yang selalu menyuguhkan agama kepada warganya adalah pemimpin yang sedang menutupi masa lalunya yang hitam, pemimpin yang hidup dengan luka batin yang dalam dan tidak pernah sembuh, dia hanya menggunakan agama untuk pembuktian kamuflase bahwa dia religius, pro syariat dan agamis, setelah predikat religius, agamis dan pro syariat ini didapat, maka dia semakin leluasa melakukan kerja – kerja hitamnya karena dia sudah terbentengi dengan agama. Dia selalu berada pada kondisi yang selalu bertentangan, karena disatu sisi dia ingin mewujudkan kesejahteraan kepada rakyatnya, disisi lain yang disuguhkan adalah persoalan – persoalan agama yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan peningkatan pendapatan, kecuali hanya menambah-nambah persoalan baru yang mengganggu pendapatan rakyatnya, seharusnya, jika tidak bisa membantu rakyatnya, jangan lah jadi pemimpin yang mengganggu rakyatnya yang selalu berjihad menghidupi keluarganya. Apa yang dilakukan oleh pemimpn seperti ini sangat bertentangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang dilakukan. Seorang pemimpin bercita – cita mewujudkan kesejahteraan kepada rakyatnya dengan mengurangi angka kemiskinan, seperti membuka lapangan kerja baru, memudahkan rakyat untuk membangun usaha-usaha, namun yang sering dibicarakan pemimpin adalah persoalan – persoalan agama.
Terakhir, pemimpin yang selalu menyuguhkan agama kepada rakyatnya adalah pemimpin yang lemah, pemimpin yang tidak punya otoritas dan kekuatan pada dirinya sendiri, pemimpin yang kepemimpinannya dikendalikan dan dikuasai oleh kelompok lain, pemimpin yang akal pikirannya tidak mandiri, tetapi dikendalikan oleh akal dan pikiran lain diluar dirinya yang sebenarnya juga menjadi parasite. Relasi kuasa negatif dan destruktif antara kelompok kaum agamawan yang selalu menggunakan agama untuk mengontrol dan menguasai ruang publik dengan legitimasi tangan kekuasaan sudah saatnya harus diakhiri, hari ini dan detik ini jika ingin negeri ini maju pesat meninggalkan yang lainnya.
Pemimpin itu bukan jabatan main-main, jabatan yang penuh pertanggung jawaban didunia dan diakhirat. Pemimpin itu adalah jabatan yang membuat seseorang cepat sekali masuk surga tanpa hisab dan membuat seseorang juga secepat kilat masuk neraka. Mengapa demikian ?, karena posisi dia sangat penting, dengan satu ucapannya saja, satu tanda tangannya saja dan satu kebijakannya akan menentukan makin sejahtera atau makin menderitanya jutaan rakyatnya, akan menentukan makin maju atau semakin mundurnya kualitas sumberdaya manusia jutaan rakyatnya. Ketika pemimpin itu sangat adil, membahagiakan, mensejahterakan rakyatnya maka itu jalur dia masuk surga secepat kilat, namun ketika pemimpin itu tidak adil, semakin membuat rakyatnya menderita maka itu adalah jalur dia secepat kilat masuk neraka.
Dimana Posisi Pemimpin ?
Ada berbagai tingkatan manusia yang hidup di Indonesia, dimana mereka hidup diantara pertarungan menguasai manusia dengan agama, pertarungan menipu dan mengendalikan manusia dengan hukum dan politik. Ada manusia yang, jangankan untuk satu jam kedepan atau untuk esok hari, untuk puluhan tahun kedepan pun kebutuhan hidup dan kebutuhan gaya hidupnya sudah lebih dari terjamin. Golongan ini tidak perlu berfikir ekstra keras lagi untuk memnuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Manusia dilevel ini, akan semakin produktif, karena tidak lagi berfikir dari mana uang untuk membeli beras, tetapi sudah befikir dan bekerja untuk terus melipat gandakan kekayaannya, bagaimana berkarya, bagaimana memprosuksi pengetahuan dan memproduksi ide. Manusia di level ini adalah ayah, bapak atau kepala keluarga yang tidak durhaka kepada anak-anaknya, karena bisa memenuhi dengan segera semua kebutuhan anak – anaknya, paling banter mereka sedikit turbulensi hanya dari segi waktu, yang mungkin agak sibuk untuk anak – anaknya, itupun bukan masalah yang berat sekali. Nah, digolongan manusia dilevel ini, penguasa dan pemimpin selalu hadir bersama golongan ini, disini penguasa dan pemimpin tidak pernah menyuguhkan agama, tetapi berbicara koalisi, kolaborasi untuk terus menambah kekayaan dan pendapatan diantara sesama mereka.
Di tempat lain, dalam waktu bersamaan, ada manusia – manusia yang jangankan untuk esok hari, untuk satu jam kedepanpun dia belum tahu mau cari kemana uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, jajan sekolah anak-anaknya serta kebutuhan – kebutuhan lainnya. Hari-harinya, fikirannya terkuras untuk memikirkan beras, untuk memikirkan uang bulanan sekolah anak – anaknya, belum lagi hutang yang menumpuk, tagihan yang datang bertubi-tubi, dalam kondisi seperti ini pemimpin dan penguasa hadir bukan untuk membantu menyelesaikan persoalan ekonomi dan persoalan hidup mereka, tetapi menyuguhkan agama, menyuguhkan segala aturan, statement, himbauan-himbauan agama yang bukannya membantu mereka keluar dari masalah yang dihadapi, tetapi justru semakin mempersulit, memperberat hidup rakyatnya dan menghambat rakyatnya untuk semakin giat dan produktif mewujudkan kesejahterannya dengan perkara – perkara agama yang dibawa oleh penguasa. Dilevel manusia seperti ini, ditambah dengan tingkah laku penguasa yang semakin menghambat kesejahteraan rakyatnya, maka akan melahirkan ayah, bapak, orang tua yang durhaka kepada anaknya, melahirkan orang tua yang tidak bisa memenuhi segala kebutuhan hidup, kebutuhan pendidikan anak -anak dan keluarganya, melahirkan orang tua yang hanya bisa melemparkan segala kesalahan kepada anak-anaknya, bisa dibayangkan bagaimana mental dan psikologis anak – anak dimasa depan dengan kondisi orang tua yang seperti ini, lalu bayangkanlah bagaimana dosa penguasa yang turut andil melahirkan orang tua seperti ini karena selalu menyuguhkan agama yang abstrak kepada rakyatnya dan tidak pernah menyuguhkan solusi kongkrit kepada rakyatnya.
Manusia dilevel ini tidak mungkin bisa bicara visi, tidak mungkin bisa sangat produktif, produktif untuk melipat gandakan uang, produkitf membaca, produktif menulis, produktif menganalisis, karena seluruh sumberdayanya digunakan untuk memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup hari ini, satu jam kedepan dan untuk esok hari. Dalam konteks ini, penguasa dan pemimpin tidak boleh lepas tangan dan lepas tanggung jawab dengan menggunakan kalimat “ harus rajin bekerja”, “ jangan malas” dan lainya sebagainya, karena segala kemiskinan yang ada adalah bukanlah persoalan personal rakyatnya, tetapi persolan struktural yang dilahirkan, yang diciptakan oleh pemimpin melalu kebijakan – kebijakannya, melalui visinya yang sama sekali tidak pro pada kesejahteraan rakyatnya. Yang perlu dicamkan oleh pemimpin model seperti ini, tidak ada rakyat yang malas, mereka tetap berusaha, tetapi ketika mereka berusaha, ruang, kebijakan dan kemudahan yang bisa meningkatkan pendapatan mereka ketika berusaha itu tidak ada sama sekali, namun mereka tetap juga berjihad, berikhtiar untuk memenuhi segala kebutuhan – kebutuhan hidup keluarganya.
Kita saat ini adalah provinsi termiskin di Sumatera dan sepuluh besar termiskin nasional, solusi untuk menghilangkan segala kemiskinan inilah yang harus dilakukan oleh pemimpin, oleh penguasa dengan langkah -langkah dan kebijakan – kebijakan kongkrit dan solusi untuk mengatasi kemiskinan ini tidak pernah ada pada himbauan untuk menutup toko, menutup tempat usaha, melarang bercampurnya laki-laki dan perempuan diruang publik ketika bulan puasa misalnya, mengatasi kemiskinan ini tidak pernah ada solusinya dengan agenda membuat regulasi yang memaksa orang untuk shalat, model-model seperti ini justru semakin meningkatkan kemiskinan, semakin menghambat rakyat untuk meningkatkan pendapatan mereka, karena semua kebijakan- kebijakan yang sering disampaikan dan dibicarakan diruang publik ini adalah kebijakan yang membatasi dan mengurangi peluang meningkatkan pendapatan rakyatnya.
Jika tidak bisa jadi pemimpin yang bisa membantu rakyatnya untuk naik kelas dari miskin menjadi kaya dan berdaya, setidaknya janganlah menggangu rakyat yang sedang mencari makan dengan datang dan menyuguhkan agama, rakyat saat ini butuh uang dan butuh makan, bukan butuh himbauan – himbauan agama. Katanya mau menghilangkan kemiskinan dan menghilangkan pengangguran tetapi himbauan, pembicaraan dan rencana kebijakannya kok justru untuk meningkatkan kemiskinan dan meningkatkan pengangguran dengan selalu menyuguhkan agama kepada rakyatnya.
Sebagai pemimpin, sebagai penguasa bicarakanlah agama, suguhkanlah agama kepada rakyatmu saat engkau telah menunaikan tugas dan tanggung jawabmu untuk mensejahterakan, untuk menghilangkan kemiskinan dan mengatasi pengangguran. Jangan suguhkan agama kepada rakyatmu yang sedang menderita, yang sedang lapar, yang sedang berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya sehari - hari, dimana mereka selalu shalat, selalu berpuasa, selalu bersedekah dengan segala kemampuan dan daya yang ada pada mereka saat ini.